Gonjang-ganjing dan kekhawatiran para tokoh Sunda di Jawa Barat akan punahnya Bahasa Sunda ini, sudah lama. Akibat dari sudah melunturnya orang Jawa Barat, khususnya dari etnis Suku Sunda dalam memakai bahasa Sunda pada percakapan sehari-harinya, ini dirasakan sekali di kalangan anak didik, dari tingkat dasar sampai lanjutan, diperparah dengan kesulitan guru bahasa Sunda di kalangan sekolah, mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs maupun tingkat SLA/MA terus bergulir, malah Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah UPI sendiri hanya mampu menghasilkan 80 lulusan per tahun, itu pun belum tentu semuanya menjadi guru Bahasa Sunda.
Di Provinsi Jawa Barat Pelajaran Bahasa Sunda memang diberikan di sekolah, ini diatur dalam Perda No 5/2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah, malah melalui SK Gubernur Jawa Barat tahun 2006 Bahasa Sunda telah ditetapkan sebagai mata pelajaran muatan lokal.
Tetapi kenyatannya di beberapa sekolah lanjutan, yang memberikan mata pelajaran ini, hanya di kelas satu saja, atau hanya di kelas dua saja, itupun dengan rentang waktu yang hanya dua jam per minggu, jelas ini tidak cukup. Jika tidak ada perjuangan yang maksimal dari para guru bahasa Sunda-nya itu sendiri, berusaha sedemikan rupa agar bahasa Sunda dicintai dan dipergunakan pada percakapan sehari-hari oleh para anak didiknya.
Tantangan di depan mata sudah terpampang jelas, kini Universitas Pajajaran, Jurusan Sastra Sunda pada Fakultas Sastra sudah ancang-ancang untuk bisa masuk ke peringkat 100 besar yang bertaraf dunia. Akan ironis jadinya jika nanti Jurusan sastra Sunda hanya diikuti oleh mahasiswa dari mancanegara saja, karena mahasiswa Jawa Barat-nya sendiri tidak merasa tertarik untuk memasuki jurusan ini, akibat ketika di tingkat lanjutannya dulu tidak pernah merasa mencintai seni dan sastra Sunda, apalagi mempergunakan bahasa Sunda.
Tantangan ini terasa lebih menusuk ulu hati, karena ternyata justru Bahasa Mandarin merupakan sebuah tuntutan dari dunia kerja disamping Bahasa Inggris saat ini, kasarnya Bahasa Sunda tidak laku di dunia industri. Ini tidak bisa dianggap remeh, karena tuntutan dunia kerja untuk masa sekarang ini, kenyataannya seperti itu, ketika para pelaku ekonomi negeri ini dikuasai oleh saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa, yang notabene masih banyak yang menggunakan bahasa sehari-harinya dengan bahasa Mandarin.
Ditambah lagi, Cina bersama India yang saat ini menggebrak dunia ekonomi secara global, siapa tahu besok lusa akan menyeret bangsa ini dengan menanamkan modalnya secara besar-besaran di negeri ini, yang tentu saja akan berakibat para anak-anak didik akan lebih memilih untuk memperdalam Bahasa Cina, sebagai penunjang agar lebih longgar ketika memasuki dunia kerja pada perusahaan-perusahaan mereka, dari pada berkutat mempelajari Bahasa Sunda yang mereka rasakan sulit dengan berbagai aturan undak-usuk basa dan katanya tidak menjanjikan itu.
Sebuah pemikiran sederhana dan masuk akal, jika para siswa kita enggan lagi berbahasa Sunda, diperparah dengan para orang tua siswanya pun sudah tidak pernah memakai bahasa Sunda lagi di rumahnya.
Masih mending jika mereka tidak mau berbahasa Sunda karena kesulitan dengan undak-usuk basa nya, karena masih banyak jalan keluarnya, tapi yang paling ironis jika mereka tidak mau berbahasa Sunda ini, karena merasa kampungan katanya jika dia masih berbahasa Sunda itu.
Untuk itu, walaupun kenyataannya jumlah guru bahasa Sunda ini masih sangat terbatas, marilah kita bersama-sama mengubah paradigma anak didiknya yang salah terhadap bahasa Sunda, bahasa ibu sebagian besar penduduk Jawa Barat ini.
Semoga !
-----mmd-----
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Alhamdulillah abdi masih keneh reueus sasanggem ku basa Sunda, sanaos abdi oge diajar basa Inggris sareng basa Indonesia.
Posting Komentar